Jumat, 17 April 2009

The sample of Writing outlining

Topic: The Teacher Competence

General statement: The teachers who educate many students in the school have to have competence. In other that they can apply the subject objectivity in learning.(thesis statement) There are three competences that have to have by a teacher.
The Body:
1. Personal competence
A. Respect on cross religious
B. Good behaviors
I. Discipline
II. friendly
III. Politeness
IV. Respect on values system in the society
C. Can develop the good character around the students
D. Democratic
I. Openness
II. Care of critical

II. Professional Competence
A. Master the base education
I. know the national objectivity
II. institutional objectivity
III. curricular
IV. learning objectivity
B. Understand of Education psychology
I. Student development
II. Learning theory
C. The ability in mastering the subject which is equivalent
D. The ability to apply the methodology of learning
E. The ability to design and use the media
F. Ability to evaluate the learning process
G. The ability to arrange learning program
H. The ability to realize support ensure
III. School administration
IV. Concealing/advisory

III. Social Competence
A. The ability to interact and communicate
B. The ability to know the society organization
C. The ability to cooperate
I. Individual
II. Groups

IV. Conclusion: we can conclude that there are three main vital of teacher competence that have to be applied in learning process. And the other element that support of those competences can help the teacher to reach their learning objectivity.


By: Acep H

Minggu, 05 April 2009

Makna Hidup

Hidup haruslah memiliki tujuan. Tanpa tujuan atau salah dalam menentukan tujuan, manusia tidak akan memperoleh apa-apa, takkan menjadi apa-apa, dan takkan menemukan makna tentang untuk apa dia ada. Jika seorang manusia mencoba untuk menghindari adanya makna dalam setiap pengalaman hidup yang dilaluinya, maka akan berdampak sangat buruk bagi kehidupannya. Tidak ada satupun manusia yang dapat mengabaikan arti penting makna hidup, dan pengalaman hiduplah yang akan memberikannya (Adler, 2004; Juliantara, 2004).

Makna hidup dapat ditafsirkan sebagai suatu proses yang dapat membuat seseorang merasakan hadirnya sebuah perubahan dalam dirinya, dan perubahan itu sangat mengesankan baginya. Sedikitnya, makna itu dapat memunculkan perasaan bangga, bahagia, sekaligus sebagai bentuk peneguhan bahwa dirinya berkembang ke arah yang lebih baik karena memperoleh sesuatu (Hernowo, 2004).

Brogaard & Smith (2005) mendefinisikan kebermaknaan hidup sebagai sebentuk nilai khusus yang dapat dihasilkan atau dapat diperoleh dalam setiap fase kehidupan manusia. Secara lebih spesifik keduanya menganggap bahwa kebermaknaan merupakan nilai puncak yang terdapat dalam kehidupan seseorang. Bastaman (1996) mengungkapkan bahwa makna hidup adalah serangkaian hal yang dianggap penting oleh seseorang, dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan sebagai tujuan hidup.

Tema besar dari aliran eksistensial—logoterapi—yang diusung oleh Viktor E. Frankl adalah bahwa kehidupan itu identik dengan penderitaan, dan bertahan hidup identik dengan penemuan makna dalam penderitaan tersebut (Allport dalam Frankl, 2004). Jika hidup memang memiliki tujuan, maka seyogyanyalah kematian ataupun penderitaan memiliki tujuannya sendiri. Kendati demikian, tidak seorangpun berhak untuk mendikte tujuan hidup orang lain. Setiap orang harus menemukan atau merumuskan sendiri tujuan hidupnya, untuk kemudian bertanggung jawab pada apa saja yang muncul dari kehidupannya tersebut.

Ancok (2003) mengungkapkan bahwa kebermaknaan hidup dapat diwujudkan melalui sebuah keinginan atau cita-cita untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain atau apapun yang secara langsung atau tidak mengaitkan dirinya, seperti pada ayah, ibu, suami, isteri, anak, tetangga, keluarga dekat, kelompok, negara, dan bahkan sebagai umat manusia. Andre (2003) mengemukakan bahwa kebermaknaan merupakan kombinasi kesanggupan manusia dalam memilih jalan hidup dan aksi untuk mewujudkan pilihannya tersebut. Seseorang akan menemukan makna hidup dengan mengarahkan dirinya untuk meraih prestasi, yang mana prestasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang penting.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soleh (2001) menemukan bahwa mahasiswa unggulan memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa reguler. Mahasiswa unggulan dan mahasiswa reguler dibedakan menurut sistem pendidikan yang mereka dapatkan. Sistem tersebut dibedakan berdasarkan latar belakang, tujuan, peserta didik, kurikulum, lingkungan sosial, dan aspek-aspek pendukung yang bersifat koedukasi lainnya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi status dan kualitas mahasiswa yang dihasilkan. Sartre (1956) meletakkan suatu pemahaman yang penting bahwa makna hidup akan sangat ditentukan oleh bagaimana capaian masa kini akan menuntun seseorang untuk menggapai masa depannya. Konsep ini menganggap bahwa makna hidup adalah buah dari apa yang ditanam hari ini.

Menurut konsep logoterapi (Frankl, 2004), seseorang dapat menemukan makna hidup yang dicarinya melalui tiga cara, yaitu

1. melalui pekerjaan atau perbuatan
2. dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang
3. melalui cara atau metode dalam menyikapi suatu penderitaan yang berlaku atas dirinya.

Menurut Barnes (dalam Kristyanti, 2003), tujuan utama dari teknik logoterapi adalah mendampingi klien untuk menemukan makna hidupnya, mendukung klien untuk hidup lebih bermakna, serta membantunya untuk dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab pada apapun peristiwa dan pengalaman hidup yang harus dilaluinya.

Makna hidup juga dapat dijumpai melalui situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan bagi seseorang, misalnya melalui penderitaan atau rasa sakit (Frankl, 2004). Namun dalam konteks ini yang perlu ditekankan adalah bahwa penderitaan atau kemalangan yang dialami oleh seseorang adalah penderitaan yang benar-benar tidak dapat dihindari (unavoidable suffering), bukan sebagai akibat dari sebuah kelalaian.

Konsep Diri

Konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1990) merupakan kumpulan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Senada dengan kedua tokoh tersebut, Shavelson dkk. (dalam Vispoel, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang terbentuk melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain, dan hasil interpretasi dari pengalaman-pengalaman yang didapatkannya tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Brooks (dalam Rahmat, 2000) memaparkan bahwa konsep diri merupakan persepsi terhadap diri sendiri, baik fisik, sosial, maupun psikologis, yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan hasil dari interaksi dengan orang lain. Tidak hanya persepsi yang bersifat deskriptif, tapi juga penilaian terhadap diri sendiri. Verderber (dalam Sobur, 2003) juga memberikan pemaknaan tentang konsep diri sebagai keseluruhan persepsi seseorang terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Maka tidaklah keliru jika filosof John Donne (dalam Parrott & Parrott, 2001) dengan ringkas mengatakan, “No man is an island (tak ada satu manusia pun yang mampu untuk hidup sendiri)”. Manusia tidak akan pernah berhenti membutuhkan manusia lain untuk membantunya dalam membangun konsep diri yang lebih baik.

Hampir senada dengan Parrott & Parrott, Mead (dalam Harre & Lamb, 1996) dalam bukunya yang berjudul Mind, Self and Society yang terbit pada tahun 1934, menuliskan bahwa konsep diri merupakan konstruksi sosial yang seluruhnya merupakan refleksi berbagai pendapat dan sikap yang disampaikan oleh orang lain, yang berarti bagi individu.

Pendapat yang tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Rogers (dalam Lefton, 1985; Vogel, 1986) bahwa konsep diri merupakan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri. Akan tetapi pandangan tersebut tumbuh dari pengalaman bersama dengan orang lain dari hari ke hari. Jika seorang anak diberitahu bahwa ia cantik, pintar, dan rajin, maka mereka akan mengembangkan konsep diri yang positif. Kondisi yang berbeda akan dijumpai pada anak yang diberitahu bahwa mereka jelek, bodoh, dan pemalas. Pada kondisi demikian, perasaan negatif pada diri anak akan muncul, dan ke depan ia akan tumbuh dengan konsep diri yang buruk (Malik, 2003).

Jika kepribadian seseorang dapat diamati dari perilaku-perilakunya yang manifes dalam berbagai situasi, maka konsep diri tidak dapat diamati secara eksplisit seperti halnya perilaku dan ekspresi seseorang. Manifestasi konsep diri yang tercermin dalam pola reaksi seseorang, dapat diamati dari reaksi yang relatif menetap pada pola perilaku seseorang. Misalnya seseorang yang memiliki pola perilaku optimis, akan berperilaku tidak mudah menyerah, penuh semangat dan vitalitas, percaya pada kemampuannya, dan senantiasa memiliki keinginan untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru yang dianggap berguna. Perilaku yang teramati dan kemudian merupakan pola perilaku individu ini merupakan cerminan konsep diri yang positif. Sebaliknya, seseorang yang selalu menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan apa-apa, cenderung akan merasa gentar untuk menghadapi hal-hal baru, di samping ketakutannya akan sebuah kegagalan. Kondisi ini merupakan cerminan konsep diri yang negatif (Widodo & Rusmawati, 2004).

Burns (1993) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang ditangkap oleh seseorang terhadap diri sendiri secara menyeluruh, yang di dalamnya mencakup persepsi tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang telah dicapai. Berbeda dengan Burns, Rosenberg (dalam Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa konsep diri merupakan perwujudan struktur mental, totalitas dari pikiran, dan perasaan individu dalam hubungannya dengan diri sendiri sebagai subyek dan obyek.

Hurlock (1979) mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi yang telah mereka capai dalam hidup. Santrock (2003) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu terhadap domain yang spesifik dari dirinya.

Pandangan ini agak berbeda jika dibandingkan dengan pandangan- pandangan sebelumnya yang lebih banyak menekankan pada keterlibatan orang lain dalam pembentukan sebuah konsep diri serta evaluasi yang bersifat menyeluruh terhadap diri individu, maka Santrock lebih menekankan pada spesifikasi domain pada diri yang menjadi titik tolak evaluasi. Santrock membedakan antara konsep diri dengan rasa percaya diri. Jika konsep diri merujuk pada spesifikasi domain evaluasi (misal domain akademik, fisik), maka rasa percaya diri lebih merupakan evaluasi yang menyeluruh. Gross (dalam Reinecke, 1993) memandang bahwa konsep diri pada dasarnya merupakan pandangan subyektif seseorang terhadap citra dirinya sebagai pribadi.

Jumat, 03 April 2009

Nothing Perfect

to criticize is easy, but to do is difficult..
Nothing perfect
Nothing worst
Nothing BLA....blaa..blaaaa...
Just TOILED,,,,sacrifice...and hard effort
Good Struggle Good RESULT....
GOD just waiting for our act..........

Just for my word

The assignment of Translation (Sund-Engl)

Menerjemaahkan tulisan dengan muatan budaya

Cinta Kuring
Cinta kuring, engkang sagara lambakan.
Biruna leuleuy mangpirang lauk suka karakojayan
Rasa pangset tur hanaang
Acining rasa nu kumambang

Cina kuring,
engkang leweung galedegan.
Hejona geueuman; mangpirang satwa suka lulumpatan
Rembetna kakayon nalikung heman
Acining tingtrim penyileukan

Kumpulkan Rabu 8-april-2009 jam 10:10
PBI_VI_A_2009

The Assignment of Teacher Personality (PKG)

Question

1. Jelaskan definisi kepribadian minimal menurut 3 tokoh!
2. a. Kompetensi apa saja yang harus dimiliki Guru?
b. Pengertian kompetensi kepribadian guru?
3. Apa saja yang termasuk indikator kepribadian guru Unggul!
4. Bagaimana profil kepribadian rasulullah Saw?
5. Mengapa Guru harus memiliki self-confidence dan emosi yang setabil?


UTS_PKG!!!!!!
Kumpulkan SENIN-6. April-09/jam 10.

The Assignment of Prose

Theme
1. What does hemingway say about men?How does he evaluate them?
2. Is Paco a hero for him?a fool?
3. Do you feel that he has objectively presented despair, or that he himself is involved in the quality?
4. Does his view of Madrid and that particular world say anything further about men else? is the luarca a miniature world that can be projected anywhere at any time? how do you know?

Characterization
1. Although Paco is the chief character, we actually see relatively little of him. Yet we sense a good deal about him. How does Hemingway give us this feel for Paco?
2. How do the other characters and the atmosphere of the Luarca contribute to our sense of Paco?
3. What does bullfighting mean to the younger boy?
4. Why is the element of fear introduced so often, and what connection does it have to Paco?
5. Is Paco's death in any way a sacrificial death? That is, does he die to serve any purpose beyond the fact itself? Why does Hemingway have him die in this particular way? Is it heroic or sordid death?
6. in terms of Paco, what is the function of ironical ending of the story?
7. what were Paco's illusion that Hemingway mentions near the end? Is it better that he die with his illusion than live disillusioned?

Note: your answer base on short story that was given and submit it on Tuesday at 1 am.
PBI_VI_A_2009